Indahnya berjalan di atas sunnah

menuntut ilmu agama,adalah kunci kebahagian dunia dan akhirat

Pernikahan sesuai dengan sunnah Rasulullah 12/06/2011

Filed under: info kesehatan,Pernikahan — akhrudi88 @ 10:13 +07:0006

سم االله الرحمن الرحيم

Asalamualaikum,,saudara-saudara ku yang di rahmati Allah ,bagi para akhwat dan ikwan yang ingin segera menikah khususnya,untuk membaca artikel yang satu ini,bagaimana sih cara melaksanakn pernikahan sesuai sunnah atau yang di ajarakan Rasulullah SAW,jangan sampai kita mengikuti apa yang tidak di contohkan oleh Rasulullah SAW,seperti pada jaman sekarang ini,yang masih mengikuti adat dan istiadat di daerahnya masing-masing.

Dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Berhati-hatilah kamu terhadap perkara-perkara yang baru di dalam agama. Setiap perkara yang baru (di dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hadis Riwayat Abu Daud, no. 4607)

menikah adalah sesuatu yang menggembirakan.dan sebuah moment yang di tunggu-tunggu bagi kaum adam maupun kaum hawa.tidak jarang orang tidak bergembira pada hari pernikahan mereka. Tapita a, jangan disangka kegembiraan menuruti sunnah nabi itu membuka jalan ke syurga semata-mata, kerana ia juga mampu menyeret kita masuk ke dalam jurang neraka yang dalam lagi menakutkan, jika ia tidak dilaksanakan seperti yang diperintahkan Rasullullah SAW.


Walimah

Walimatul ‘urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]
• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.

• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]
• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa
.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia men-do’akan (orang yang mengundangnya)” [6]

• Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha’ bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]

• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:
Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]

Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.
Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka” [10]
“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.” [11]

Atau dengan lafazh:

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku” [12]

Atau dengan lafazh:

“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.” [13]

Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.
Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” [14]

• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.
Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:
1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.
2. Menghibur kedua mempelai.
Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]

Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,

“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang me-nyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]

Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang dia nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia mengucapkan:

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]

 

Kewajiban Mengikuti Pemahaman Salafush Shalih 10/06/2011

Filed under: manhaj — akhrudi88 @ 10:13 +07:0006
      Salaf, artinya adalah orang-orang terdahulu. Adapun yang dimaksud dengan Salafush Shalih, dalam istilah ulama adalah orang-orang terdahulu yang shalih, dari generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari generasi tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah setelah mereka. Salafush Shalih adalah generasi terbaik umat Islam. Oleh karenanya, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti pemahaman mereka dalam beragama. Sehingga berbagai macam bid’ah, perpecahan dan kesesatan dapat dijauhi. Karena adanya berbagai macam bid’ah, perpecahan, dan kesesatan tersebut, berawal dari menyelisihi pemahaman Salafush Shalih. Menjadi keniscayaan, jika seluruh umat Islam, dari yayasan atau organisasi atau lembaga apapun, wajib mengikuti pemahaman Salafush Shalih dalam beragama. Banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman Salafush Shalih. Para ulama telah banyak menulis masalah besar ini di dalam karya-karya mereka. Imam Ibnul Qoyyim di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, menyebutkan 46 dalil tentang kewajiban mengikuti sahabat. Syaikh Salim Al Hilali menulis kitab yang sangat bernilai tentang kewajiban mengikuti manhaj Salaf ini di dalam kitab beliau yang berjudul Limadza Ikhtartu Manhaj As Salafi?, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Iindonesia. Sekedar untuk memudahkan pemahaman bagi saudara-saudara seiman, secara ringkas kami ingin menyampaikan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengikuti sahabat dalam beragama. 
       
Mengikuti Manhaj Salaf Dalam Segala Hal
 
 Dalam memahami Islam, dalam bentuk apapun, baik masalah ibadah, syari’ah, mu’amalah; terutama masalah aqidah, harus mengikuti sebagaimana ulama-ulama Salaf memahaminya. Sebagai contoh dalam memahami al Qur`an dan al Hadits, kita tidak boleh lepas dari pemahaman ulama-ulama Salaf. Mengapa harus mengikuti para salaf? Karena para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, mereka adalah yang paling memahami tentang Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula kita harus mengikuti imam-imam Ahlus Sunnah, karena mereka sangat memahami tentang Islam. Apa yang difatwakan mereka adalah untuk kebaikan bagi kaum Muslimin. Memang, para imam-imam tersebut tidak ma’shum, tetapi, mereka itu adalah mujtahid. Sedangkan ciri Ahlus Sunnah, di antaranya ialah mengikuti para ulama dalam memahami dalil, terutama masalah fitnah yang dimunculkan oleh firqah-firqah. Sebagai contoh, yaitu Khawarij dan Syi’ah. Khawarij, mereka salah dalam memahami ayat : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir
  sumber :  http://www.alsofwah.or.id
 

Adab Ketika Bangun Tidur 08/06/2011

Filed under: Adab sehari-hari — akhrudi88 @ 10:13 +07:0006

Oleh
Syaikh Khalid al Husainan

[a].Mengusap Bekas Tidur Yang Ada Di Wajah Maupun Tangan 

Hal ini menurut Imam An-Nawawy dan Al Hafidz Ibnu Hajar sebagai sesuatu yang dianjurkan berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

” Artinya : Rasulullah bangun tidur kemudian duduk sambil mengusap wajahnya de

ngan tangannya” [Hadits Riwayat Muslim no. 763 ]

[b]. Doa Ketika Bangun Tidur
“Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah ditidurkanNya dan kepadaNya kami dibangkitkan” [Hadits Riwayat Bukhari no. 6312 dan Muslim no. 2711]

[c]. Bersiwak 

“Artinya : Adalah Rasulullah apabila bangun malam membersihkan mulutnya dengan bersiwak [Hadits Riwayat Bukhari no. 245 dan Muslim no. 255]

[d]. Beristintsaar [Mengeluarkan /Menyemburkan Air Dari Hidung Sesudah Menghirupnya]

“Artinya : Apabila seorang diantara kalian bangun tidur maka beristintsaarlah tiga kali karena sesungguhnya syaitan bermalam di batang hidungnya” [Hadits Riwayat Bukhari no. 3295 dan Muslim no. 238]

[e]. Mencuci Kedua Tangan Tiga Kali.

Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Artinya : Bila salah seorang diantaramu bangun tidur, janganlah ia menyelamkan tangannya ke dalam bejana, sebelum ia mencucinya tiga kali [Hadits Riwayat Bukhari no. 162 dan Muslim no. 278]

[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]

 

Pentingnya menuntut Ilmu 05/06/2011

Filed under: ilmu — akhrudi88 @ 10:13 +07:0006

بسم الله الرحمن الرحيم

  Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh sekelompok shahabat di antaranya Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu :

“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”
(HR. Ahmad dalam Al’Ilal, berkata Al Hafidz Al Mizzi; hadits hasan. Lihat Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi, ta’lif Ibnu Abdil Baar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini)

Ilmu yang demaksud di atas adalah ilmu dien yaitu pengenalan petunjuk dengan dalilnya yang memberi manfaat bagi siapa pun yang mengenalnya.

Kita harus berilmu agar selamat hidup di dunia dan di akhirat. Karena dengan berilmu kita akan tahu mana yang diperintahkan oleh Allah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mana yang dilarang, atau mana yang disunnahkan oleh Rasul-Nya dan mana yang tidak sesuai dengan sunnah (bid’ah).

Dengan ilmu kita tahu tentang hukum halal dan haram, kita mengetahui makna kehidupan dunia ini dan kehidupan setelah kematian yaitu alam kubur, kita tahu kedahsyatan Mahsyar dan keadaan hari kiamat serta kenikmatan jannah dan kengerian neraka, dan lain sebagainya.

Dengan ilmu dapat mendatangkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, karena sungguh Dia Yang Maha Mulia telah berfirman :

“Sesungghnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah orang yang berilmu (ulama).” (QS. Fathir : 28)

Dengan rasa takut kepada Allah ta’ala amalan yang kita lakukan ada kontrolnya, dibenci atau diridhai oleh Allah ta’ala.

Imam Ahmad berkata :
“Asalnya ilmu adalah takut (takwa) kepada Allah Ta’ala” (Lihat Hilyah Thalibul ‘Ilmi, ta’lif Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 13)

Orang yang berilmu akan tahu betapa berat siksa Allah sehingga ia takut berbuat maksiat kepada Allah. Ilmu juga membuat orang tahu betapa besar rahmat Allah Ta’ala sehingga dalam beramal ia selalu mengharap ridha-Nya semata.

Perlu diingat bahwa bukanlah yang dimaksud dengan orang berilmu itu adalah orang yang memiliki banyak kitab atau riwayat yang diketahui, tapi yang dinamakan berilmu apabila orang tersebut memahami apa yang disampaikan kepadanya dari ilmu-ilmu tersebut dan mengamalkannya. (Lihat Syarhus Sunnah oleh Al Imam Al Barbahari)

Ilmu merupakan obat bagi hati yang sakit dan merupakan hal yang paling penting bagi setiap manusia setelah mengenal diennya. Sehingga dengan mengenal ilmu dan mengamalkannya akan menjadi sebab bagi setiap hamba untuk masuk jannah-Nya Allah Ta’ala dan bila jahil terhadap ilmu bisa menyebabkan ia masuk neraka.

Ilmu adalah warisan dari para Nabi dan merupakan cahaya hati, setinggi-tinggi derajatnya di antara manusia dan sedekatnya-sedekatNya manusia kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

“… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….” (Al Mujaadilah : 11)

Kebutuhan seorang hamba akan ilmu dien ini, melebihi kebutuhan akan makan dan minum sampai digambarkan bahwa kebutuhan ilmu itu sama seperti manusia membutuhkan udara untuk bernapas.

 

Gambar Makhluk Bernyawa

Filed under: Permata Hati — akhrudi88 @ 10:13 +07:0006

بسم االله الرحمن الرحيم

     Dalam salah satu kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah, anak diminta menggambar makhluk bernyawa atau diberikan gambar ayam betina yang belum lengkap, lalu dikatakan padanya, “Sempurnakanlah gambar ini.” Terkadang si anak diminta menggunting gambar bernyawa lalu menempelkannya di atas kertas, atau ia diminta mewarnai gambar tersebut. Apa pendapat antum tentang hal ini?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullahu berkata, “Saya memandang hal tersebut haram, wajib untuk dilarang. Para penanggung jawab pengajaran harus menunaikan amanah dalam masalah ini dan melarang perkara yang seperti ini. Bila mereka ingin mencari kejelasan tentang kecerdasan seorang murid, mereka bisa mengatakan, ‘Buatlah gambar mobil atau pohon’, atau benda-benda semisalnya yang diketahuinya. Dengan seperti itu dapat diketahui sejauh mana kecerdasan, kecermatan, dan penerapannya terhadap perkara-perkara yang ada.

Apa yang terjadi di sekolah-sekolah tersebut merupakan musibah yang menimpa manusia dengan perantara setan, padahal sebenarnya tidak ada bedanya membuat gambar pohon, gambar mobil, istana ataupun gambar manusia. Karenanya aku memandang wajib bagi para penanggung jawab untuk melarang hal seperti itu. Bila memang terpaksa menggambar makhluk bernyawa maka hendaklah mereka menggambar hewan tanpa kepala.”

(Fatwa di atas diambil dari kitab Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 148-149)

Dinukil dari Majalah Asy Syariah No. 55/V/1430 H/2009 halaman 88

 

Pentingnya Ilmu Dalam Pernikahan

Filed under: Pernikahan — akhrudi88 @ 10:13 +07:0006
Penulis: Ida & Ummu Ishaq Zulfa Husein

Pernikahan adalah hal yang fitrah….. didambakan oleh setiap orang yang normal, baik itu laki-laki maupun perempuan yang sudah baligh. Dan disyariatkan oleh Islam, sebagai amalan sunnah bagi yang melaksanakannya.

Pernikahan adalah hal yang fitrah….. didambakan oleh setiap orang yang normal, baik itu laki-laki maupun perempuan yang sudah baligh. Dan disyariatkan oleh Islam, sebagai amalan sunnah bagi yang melaksanakannya.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan rasa saling tertarik kepada lawan jenis dan saling membutuhkan, sehingga dengan itu saling mengasihi dan mencintai untuk mendapatkan ketenangan dan keturunan dalam kehidupannya. Bahkan pernikahan adalah merupakan rangkaian ibadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang di dalamnya banyak terdapat keutamaan dan pahala besar yang diraih oleh pasangan tersebut.

Walaupun demikian, banyak kita jumpai pada saudara-saudarai kita tealah salah menilai suatu pernikahan, bahkan di kalangan mereka tidak mengerti ilmu sekalipun.Langkah awal melakukan pernikahan didasari karena ingin lari dari suatu problem yang sedang dialami. Sebagai contoh kasus dibawah ini:

Fulanah adalah seorang muslimah, yang sudah mengkaji ilmu dien. Ia mempunyai konflik yang cukup berat dengan orang tuanya, mungkin dengan sedikitnya ilmu maka ia kurang bisa dalam bermuamalah dengan orang tuanya, atau mungkin juga karena kurang fahamnya tentang bagaimana pengalaman daripada Birrul-walidain (Berbakti kepada kedua orang tua-ed). Masalahnya ia akan dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya yang menurutnya tidak sepaham dalam hal manhaj (pemahaman). Alasan ini adalah terpuji di dalam Islam, namun cara pendekatan dan cara menolak kepada orang tuanya yang mungkinkurang baik. Keua orang tuanya mendesak terus agar ia menerima lelaki yang dianggap tepat untuk pasangan hidup anaknya. Fulanah sangat bingung, apalagi orangtuanya mulai mengancam dengan berbagai ancaman. Kebingungannya itu, ia kemukakan kepada salah seorang teman perempuannya sepengajian yang sudah nikah. Temannya itu pun dengan spontan menyarankan supaya dia menikah dengan teman suaminya. Fulanah dengan senang hati menerima usulan tersebut, sejuta harapan yang indah …. bayangkan ! Ia akan terbebas dari problem yang sedang ia hadapi dan dapat menjadi istri seseorang yang sefaham dengannya nanti … bisa ngaji sama-sama, bisa mengamalkan ilmu sama-sama. Lelaki yang dimaksudpun akhirnya merasa iba setelah mendengar cerita tentang keistiqomahan Fulanah. Dia beranggapan bahwa Fulanah lebih perlu ditolong, sekalipun cita-citanya yang menjadi taruhannya. Sebenarnya ia belum siap untuk menikah, karena sedang menimba ilmu dien bahkan baru mulai merasakan lezatnya menimba ilmu.

Singkat cerita akhirnya dengan izin Allah menikahlah mereka. Orang tuanya yang tadinya bersikeras, mengizinkan dengan ketulusan hati seorang bapak kepada putrinya, demi kebaikan anaknya. Pernikahan berlangsung dengan disaksikan oleh kedua orangtua Fulanah dan teman-temannya.

Mulanya pasangan ini kelihatan bahagia. Dengan seribu cita-cita dan angan-angan. Fulanah ingin membentuk rumah tangga yang Islami bersama suami yang akan selalu membimbing dia dan akan selalu bersama disampingnya.

Hari-hari terus berjalan sebulan-dua bulan…, mereka mulai mengetahui kelemahan masing-masing, dan mulailah timbul perasaan kecewa di hati mereka, harapan dan cita-cita tidak sesuai dengan kenyataan. Si isteri kurang mengetahui tentang hal-hal yang harus ia lakukan, misalnya ketika suami pulang dari luar rumah; ia berpenampilan seadanya, bahkan terkesan kusut dan tidak menarik. Mungkin ia menganggap suaminya orang baik yang tidak perlu memandang wanita yang berpenampilan indah dan menarik. Ini hanya satu contoh dan masih banyak hal lagi yang membuat suami kecewa. Sang suami yang sudah pernah merasakan lezatnya menimba ilmu, ingin kembali sibuk dalam majlis ilmu. Baginya duduk bersama teman-teman semajlis ilmu lebih mengasyikkan dari pada duduk bersama isteri yang “menjenuhkan”.

Fulanah yang masih kurang ilmu diennya, menilai bahwa suaminya telah menelantarkannya. Fulanah merasa tertekan melihat tingkah laku suaminya yang demikian. Tak tahu harus berbuat apa. Ia memang kurang mempunyai bekal ilmu untuk menghadapi pernikahan. Konflik rumah tangga pun terjadi. Ternyata konflik dengan orang tuanya yang dulu, lebih ringan rasanya dibanding dengan konfliknya yang sekarang. Kalau sudah seperti ini …. apa yang ingin ia lakukan? Cerai … dan kembali ke orang tua ? …. wal’iyadzubillah, bukan hal yang mudah !

Sesungguhnya kasus yang terjadi di atas banyak kita jumpai di kalangan muslim dan muslimah yang tanpa pikir panjang dan tanpa persiapan apa-apa dalam langkahnya menuju nikah. Bahkan ada problem rumah tangga yang lebih parah lagi akibat dari pernikahan yang tanpa dilandasi oleh ilmu dien, amalan dan ketaqwaan. Misalnya ada kemaksiatan yang terjadi di dalam rumah tangga tersebut ; suami menyeleweng atau sebaliknya, yang membuat rumah tangga menjadi runyam berantakan. Nikah yang katanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan serta untuk mewujudkan cita-cita yang indah dan mulia, menjadi sebaliknya. Akhirnya keluarga dan anak-anak yang akan jadi korban kecerobohan karena faktor ketergesaan.

Memang untuk mendapatkan keluarga sakinah seperti yang dicita-citakan setiap muslim dan muslimah, tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata pemahaman ilmu dien yang cukup dari masing-masing pihak memegang peran penting untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mengingat dalam rumah tangga banyak permasalahan yang akan timbul. Seperti bagaimana memenuhi hak dan kewajiban suami-istri, apa tugas masing-masing dan bagaimana cara mendidik anak. Bagaimana mungkin jika tidak kita persiapkan sebelumnya? Disinilah salah satu hikmah diwajibkannya bagi setiap muslim untuk mencari ilmu.

Ilmu adalah warisan dari para Nabi dan merupakan cahaya hati, setinggi-tinggi derajatnya di antara manusia dan sedekatnya-sedekatNya manusia kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

“… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….” (Al Mujaadilah : 11)

Kebutuhan seorang hamba akan ilmu dien ini, melebihij kebutuhan akan makan dan minum sampai digambarkan bahwa kebutuhan ilmu itu sama seperti manusia membutuhkan udara untuk bernapas.

Ilmu Sebagai Landasan Untuk Membentuk Rumah Tangga

Karena nikah merupakan amalan yang sangat mulia di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan merupakan rangkaian dari ibadah, maka menikah dalam Islam bukan hanya untuk bersenang-senang atau mencari kepuasan kebutuhan biologis semata. Akan tetapi seharusnyalah pernikahan dilakukan untuk menimba masyarakat kecil yang shalih yaitu rumah tangga dan masyarakat luas yang shalih pula sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman As Shalafus Shalih.

Perlu diketahui bahwa sesungguhnya pasangan suami isteri dalam kehidupan berumah tangga akan menghadapi banyak problem dan untuk mengatasinya perlu ilmu. Dengan ilmu, pasangan suami istri tahu apa tujuan yang akan dicapai dalam sebuah pernikahan yaitu untuk beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan dalam rangka mencari ridha-Nya semata.

Di samping itu juga dengan ilmu sepasang suami-istri sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya. Sehingga jalannya bahtera rumah tangga akan harmonis dan baik.

Suami dan istri juga diamanahi Rabb-Nya untuk mendidik anak keturunannya agar menjadi generasi Rabbani yang tunduk pada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah. Agar keturunan yang terlahir dari pernikahan tersebut tumbuh di atas dasar pemahaman, dasar-dasar pendidikan imand dan ajaran Islam sejak kecil sampai dewasanya. Sungguh … ini merupakan tugas yang berat dan tentu saja butuh butuh ilmu.

Dari sinilah terlihat betapa pentingnya ilmu sebagai bekal bagi kehidupan rumah tangga muslim.

Tarbiyah Dalam Rumah Tangga

Dalam rumah tangga, suami merupakan tonggak keluarganya, pemimpin yang menegakkan urusan anak dan istrinya.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :

“Kaum laki-laki itu adalah pemipin bagi kaum wanita …” (An Nisaa : 34)

salah satu tugas suami sebagai qawwam adalah meluruskan keluarganya dari penyimpangan terhadap al-haq dan mengenalkan al-haq itu sendiri. Seharusnyalah seorang suami menyediakan waktunya yang terdiri dari 24 jam untuk mentarbiyah keluarganya yang dimulai dengan istri untuk dipersiapkan sebagai madrasah bagi keturunannya. Tumbuhkan kecintaan terhadap ilmu di hati istri (syukur kalau memang sejak sebelum nikah si istri sudah mencintai ilmu) agar kelak ia dapat mendidik anak-anaknya untuk mencintai ilmu dan beramal dengannya.

Walaupun Islam telah menetapkan bahwa memberikan pengajaran, mendidik dan mengarahkan istri merupakan salah satu kewajiban suami namun sangat disayangkan masih banyak kita jumpai suami yang melalaikan dan menggampangkan hal ini. Atau si suami merasa cukup dengan pengetahuan dien yang minim dari sang istri sehingga menganggap tidak perlu menyediakan waktu untuk mendidik dan memberikan nasehat. Mungkin kasus ini seperti ini tidak hanya kita jumpai di kalangan orang yang awam bahkan di kalangan du’at (para da’i). Kita lihat mereka sibuk mengurusi da’wah di luar rumah, sementara istrinya di rumah tidak sempat didakwahi. Akibatnya si istri tidak ngerti thaharah yang benar, shalat yang sesuai sunnah, mana tauhid mana syirik dan lain-lain (mungkin kalau si istri sebelum menikah sudah mempunyai ilmu, hal tersebut tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau istrinya masih jahil ?) Sungguh hal ini perlu menjadi perhatian bagi para suami.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu ….” (QS. At-Tahrim : 6)

Berkata Imam Ali Radiyallahu ‘anhu juga Mujahid dan Qatadah dalam menafsirkan ayat diatas: “Jaga diri kalian dengan amal-amal kalian dan jaga keluarga kalian dengan nasehat kalian”

Dan sesungguhnya penjagaan itu tidak akan sempurna kecuali dengan iman dan amal yang baik setelah berupaya menjauhi syirik dan perbuatan maksiat. Semuanya ini menuntut adanya ilmu dan persiapan diri untuk mengamalkan apa yang telah diketahui (Lihat Aysaru At-Tafasir li Kalami Al-’Aliyul Kabir juz 5, hal. 387, ta’lif Abu Bakar Jabir Al Jazairi)

Berkata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya: “Karena itu wajib bagi kaum laki-laki (suami) untuk memperbaiki dirinya dengan ketaatan dan memperbaiki isterinya dengan perbaikan seorang pemimpin atas apa yang dipimpinnya. Dalam hadits yang shahih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya. Imam merupakan pemimpin manusia dan ia akan ditanyai tentangnya dan laki-laki (suami) adalah pemimpin keluarganya dan akan ditanyai tentangnya.”

Al Qusyairi menyebutkan dari Umar Radiyallahu ‘anhu yang berkata tatkala turun ayat dalam surat At Tahrim di atas: “Wahai Rasulullah, kami menjaga diri kami, maka bagaimanakah cara kami untuk menjaga keluarga kami ?” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kalian larang mereka dari apa-apa yang Allah larang pada kalian untuk melakukannya dan perintahkan mereka dengan apa yang Allah perintahkan.”

Berkata Muqatil: “Yang demikian itu wajib atasnya untuk dirinya sendiri, anaknya, istrinya, budak laki-laki dan perempuannya.”

Berkata Al-Kiyaa: “Maka wajib atas kita untuk mengajari anak dan istri kita akan ilmu agama, kebaikan serta adab.” (Lihat Tafsir Al Qurthubi juz 8, hal. 6674-6675).

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan yang termulia menyempatkan waktu untuk mengajari istrinya sehingga kita bisa mendengar atau membaca bagaimana kefaqihan ummul mu’minin ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha.

Para shahabat beliau Radiyallahu ‘anhum, tatkala tatkala turun ayat ke 31 surat An Nur :

… Dan hendaklah mereka (wanita yang beriman) menutupkan kain kudung ke dadanya … (An Nur : 31)

Mereka pulang menemui istri-istrinya dan membacakan firman Allah di atas, maka bersegeralah istri-istri mereka melaksanakan apa yang Allah perintahkan (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 hal. 284)

Ini merupakan contoh bagaimana suami menyampaikan kembali kepada istrinya dari ilmu yang telah didapatkannya di majlis ilmu, sudah seharusnya menjadi panutan bagi kita.

Sebagai penutup, kami himbau kepada mereka yang ingin menikah atau sudah menikah agar tidak mengabaikan ilmu, dan berupaya memilih pasangan yang cinta akan ilmu agar kelak anak turunan juga dididik dalam suasana kecintaan akan ilmu.

Wallahu a’lam

Sumber : Muslimah/Edisi XVII/Muharram/1418/1997

 

Apakah mimisan membatalkan wudhu’?

Filed under: fiqih — akhrudi88 @ 10:13 +07:0006
Oleh Syaikh Muqbil Rahimahullah

Jawab : “Mimisan tidaklah membatalkan wudhu, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa dia membatalkan wudhu. Telah warid (datang) satu hadits dho’if (lemah) yang menyatakan bahwa dia membatalkan wudhu dan tidak warid dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para shahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, mereka sholat dalam keadaan berdarah luka-luka mereka. Maka (mimisan) tidak membatalkan (wudhu), akan tetapi jika dia takut mengotori mesjid, maka hendaknya dia keluar dan mencucinya kemudian kembali dan mengulang sholatnya, wallahul musta’an”.

Sumber : Jurnal Al-Atsariyyah Vol. 01/Th01/2006

 

Hati-Hati dari Teman yang Buruk!

Filed under: Adab sehari-hari — akhrudi88 @ 10:13 +07:0006

بسم الله الرحمن الرحيم

Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:

مَثَلُ الْـجَلِيْسِ الصَّالـِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ. فَحَامِلُ الْـمِسْكِ إِمَّا أَنْ يَحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيْثَةً

Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa teman dapat memberikan pengaruh negatif ataupun positif sesuai dengan kebaikan atau kejelekannya. BeliauShallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan teman bergaul atau teman duduk yang baik dengan penjual minyak wangi.

Bila duduk dengan penjual minyak wangi, engkau akan dapati satu dari tiga perkara sebagaimana tersebut dalam hadits. Paling minimnya engkau dapati darinya bau yang harum yang akan memberi pengaruh pada jiwamu, tubuh dan pakaianmu. Sementara kawan yang jelek diserupakan dengan duduk di dekat pandai besi. Bisa jadi beterbangan percikan apinya hingga membakar pakaianmu, atau paling tidak engkau mencium bau tak sedap darinya yang akan mengenai tubuh dan pakaianmu.

Dengan demikian jelaslah, teman pasti akan memberi pengaruh kepada seseorang. Dengarkanlah berita dari Al-Qur`an yang mulia tentang penyesalan orang zalim pada hari kiamat nanti karena dulunya ketika di dunia berteman dengan orang yang sesat dan menyimpang, hingga ia terpengaruh ikut sesat dan menyimpang.

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَالَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلاً. يَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلاً. لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا

Dan ingatlah hari ketika itu orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, andai kiranya dulu aku tidak menjadikan si Fulan itu teman akrabku. Sungguh ia telah menyesatkan aku dari Al-Qur`an ketika Al-Qur`an itu telah datang kepadaku.’ Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 27-29)

‘Adi bin Zaid, seorang penyair Arab, berkata:

عَنِ الْـمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْـمُقَارَنِ يَقْتَدِي
إِذَا كُنْتَ فِي قَوْمٍ فَصَاحِبْ خِيَارَهُمْ وَلاَ تُصَاحِبِ الْأَرْدَى فَتَرْدَى مَعَ الرَّدِي

Tidak perlu engkau bertanya tentang (siapa) seseorang itu, namun tanyalah siapa temannya
Karena setiap teman meniru temannya
Bila engkau berada pada suatu kaum maka bertemanlah dengan orang yang terbaik dari mereka
Dan janganlah engkau berteman dengan orang yang rendah/hina niscaya engkau akan hina bersama orang yang hina
Karenanya lihat-lihat dan timbang-timbanglah dengan siapa engkau berkawan.

Dampak Teman yang Jelek

Ingatlah, berteman dengan orang yang tidak baik agamanya, akhlak, sifat, dan perilakunya akan memberikan banyak dampak yang jelek. Di antara yang dapat kita sebutkan di sini:

1. Memberikan keraguan pada keyakinan kita yang sudah benar, bahkan dapat memalingkan kita dari kebenaran. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ. قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ إِنِّي كَانَ لِي قَرِينٌ. يَقُولُ أَئِنَّكَ لَمِنَ الْمُصَدِّقِينَ. أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَدِينُونَ. قَالَ هَلْ أَنْتُمْ مُطَّلِعُونَ. فَاطَّلَعَ فَرَآهُ فِي سَوَاءِ الْجَحِيمِ. قَالَ تَاللهِ إِنْ كِدْتَ لَتُرْدِينِ. وَلَوْلاَ نِعْمَةُ رَبِّي لَكُنْتُ مِنَ الْمُحْضَرِينَ

Lalu sebagian mereka (penghuni surga) menghadap sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) memiliki seorang teman. Temanku itu pernah berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang yang membenarkan hari berbangkit? Apakah bila kita telah meninggal dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan.” Berkata pulalah ia, “Maukah kalian meninjau temanku itu?” Maka ia meninjaunya, ternyata ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala. Ia pun berucap, “Demi Allah! Sungguh kamu benar-benar hampir mencelakakanku. Jikalau tidak karena nikmat Rabbku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret ke neraka.” (Ash-Shaffat: 50-57)

Dengarkanlah kisah wafatnya Abu Thalib di atas kekafiran karena pengaruh teman yang buruk. Tersebut dalam hadits Al-Musayyab bin Hazn, ia berkata, “Tatkala Abu Thalib menjelang wafatnya, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dapati di sisi pamannya ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnil Mughirah. Berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’ Namun kata dua teman Abu Thalib kepadanya, ‘Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus meminta pamannya mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib terus pula mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib tetap memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallah(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Teman yang jelek akan mengajak orang yang berteman dengannya agar mau melakukan perbuatan yang haram dan mungkar seperti dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang munafikin:

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

Mereka menginginkan andai kalian kafir sebagaimana mereka kafir hingga kalian menjadi sama.” (An-Nisa`: 89)

3. Tabiat manusia, ia akan terpengaruh dengan kebiasaan, akhlak, dan perilaku teman dekatnya. Karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu menurut agama teman dekat/sahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat1.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 927)

4. Melihat teman yang buruk akan mengingatkan kepada maksiat sehingga terlintas maksiat dalam benak seseorang. Padahal sebelumnya ia tidak terpikir tentang maksiat tersebut.

5. Teman yang buruk akan menghubungkanmu dengan orang-orang yang jelek, yang akan memudaratkanmu.

6. Teman yang buruk akan menggampangkan maksiat yang engkau lakukan sehingga maksiat itu menjadi remeh/ringan dalam hatimu dan engkau akan menganggap tidak apa-apa mengurangi-ngurangi dalam ketaatan.

7. Karena berteman dengan orang yang jelek, engkau akan terhalang untuk berteman dengan orang-orang yang baik/shalih sehingga terluputkan kebaikan darimu sesuai dengan jauhnya engkau dari mereka.

8. Duduk bersama teman yang jelek tidaklah lepas dari perbuatan haram dan maksiat seperti ghibah, namimah, dusta, melaknat, dan semisalnya. Bagaimana tidak, sementara majelis orang-orang yang jelek umumnya jauh dari dzikrullah, yang mana hal ini akan menjadi penyesalan dan kerugian bagi pelakunya pada hari kiamat nanti. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ تَعَالَى فِيْهِ، إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً

Tidak ada satu kaum pun yang bangkit dari sebuah majelis yang mereka tidak berzikir kepada Allah ta’ala dalam majelis tersebut melainkan mereka bangkit dari semisal bangkai keledai2 dan majelis tersebut akan menjadi penyesalan bagi mereka.” (HR. Abu Dawud. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 77)

Demikian… Semoga ini menjadi peringatan!

(Dinukil secara ringkas dengan perubahan dan tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan, hal. 95-99)

Catatan kaki:

1 Seseorang akan berperilaku seperti kebiasaan temannya dan juga menurut jalan serta perilaku temannya. Maka hendaknya setiap kita merenungkan dan memikirkan dengan siapa kita bersahabat. Siapa yang kita senangi agama dan akhlaknya maka kita jadikan ia sebagai teman, dan yang sebaliknya kita jauhi. Karena yang namanya tabiat akan saling meniru dan persahabatan itu akan berpengaruh baik ataupun buruk. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Az-Zuhd, bab 45)
2 Sama dengan bangkai keledai dalam bau busuk dan kotornya. (‘Aunul Ma’bud, kitab Al-Adab, bab Karahiyah An Yaqumar Rajulu min Majlisihi wala Yadzkurullah)

(Sumber: Majalah Asy Syariah no. 43/IV/1429 H/2008, halaman 91 s.d. 93, judul: Hati-Hati dari Teman yang Buruk!, penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah, katagori: Mutiara Kata, URL Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=717)

 

Kisah Tentang Taubat

Filed under: Kisah-kisah islam — akhrudi88 @ 10:13 +07:0006

Taubat Nabi Adam a.s.

Diriwayatkan dari Hasan, ia berkata bahawa ketika Allah menerima taubat Nabi Adam a.s., para malaikat mengucapkan selamat kepadanya dan Jibril serta Mikail a.s. turun kepadanya seraya berkata, “Wahai Adam, tenanglah hatimu sebab Allah Taala telah menerima taubatmu.”

Jawab Nabi Adam a.s., “Hai Jibril, jika sesudah taubat ini ada pertanyaan, maka di mana sebenarnya maqam (kedudukan) aku?”

Allah pun menurunkan wahyu kepada Nabi Adam a.s., “Hai Adam, Kuwariskan kepada keturunanmu jerih-payah dan upah, dan Kuwariskan taubat kepada mereka. Barangsiapa di antara mereka berdoa kepada-Ku, pasti Kukabulkan sebagaimana Aku mengkabulkan engkau, dan barangsiapa memohon ampunan-Ku, Aku tidak berlaku kikir ke atasnya. Sebab Aku dekat, dan pengampun dosa. Hai Adam, orang-orang yang bertaubat akan dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan suka ria dan tersenyum simpul di mana doa permohonan mereka dikabulkan.”

Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat

Diriwayatkan bahawa di kalangan Bani Israil ada seorang pemuda yang beribadat kepada Allah selama 20 tahun dan membuat maksiat kepada-Nya selama 20 tahun pula. Suatu hari dia melihat wajahnya di cermin, dan nampaklah janggutnya yang beruban. Dia merasakan dirinya telah tua dan sudah tentu telah dekat dengan kematian.
Keadaan itu menyebabkan hatinya merana, lalu mengeluh, “Hai Tuhanku, aku telah taat kepada-Mu selama 20 tahun, kemudian maksiat kepada-Mu selama 20 tahun pula. Andaikata aku kembali kepada-Mu, sudikah Engkau menerima-Ku?”

Kemudian dia mendengar suatu suara berkata, “Engkau telah mencintai-Ku, maka Aku pun mencintaimu. Engkau telah meninggalkan-Ku, maka Aku pun meninggalkanmu. Dan engkau telah maksiat kepada-Ku, maka engkau Kuberi waktu. Jikalau engkau kembali kepada-Ku, Aku terimalah engkau.”

Pintu Taubat Sentiasa Terbuka Bagi orang yang bertobat
Seorang lelaki telah bertanya kepada Ibnu Mas`ud tentang seorang yang berdosa tapi menyesalinya, apakah bagi orang itu ada hak taubat. Ibnu Mas`ud berpaling daripadanya, kemudian menghadapnya semula dengan kedua matanya bercucuran air mata, lalu menjawab, “Sesungguhnya Syurga itu mempunyai delapan pintu yang seluruhnya kadang kala terbuka dan kadang kala terkunci, kecuali pintu taubat. Pada pintu ini ada malaikat yang diserahi tugas agar jangan menguncinya. Bertaubatlah, jangan berputus asa!”

Taubat Dengan Menebus Dosa
Pada umat sebelum Rasulullah SAW, ada seorang lelaki yang telah membunuh 99 orang. Suatu hari dia menanyakan tentang orang yang paling alim di dunia ini, lalu ditunjukkan kepadanya seorang rahib. Lelaki itu pergi berjumpa sang rahib dan mengatakan bahawa dirinya telah membunuh 99 orang, apakah masih berhak untuk taubat. Rahib itu mengatakan tidak. Lalu dibunuhnya sekali rahib tersebut dan dengan itu cukuplah seratus orang. Kemudian ia bertanya lagi siapa yang paling alim di dunia ini. Ditunjukkanlah kepadanya salah seorang alim, lalu ia pun mengaku kepada orang alim itu yang ia telah membunuh seratus orang, apakah ia boleh bertaubat.
Jawab orang alim itu, “Ya. Siapa yang dapat menghalang kamu daripada bertaubat? Pergilah ke kampung sekian, sekian. Di sana, orang-orangnya memuja Allah Taala. Menujulah kepada Allah bersama-sama mereka dan jangan kembali ke kampungmu. Sebab kampungmu adalah tanah jahat.”
Di pertengahan jalan, lelaki itu telah meninggal dunia. Maka berselisihlah malaikat rahmat dan malaikat azab tentang siapa yang berhak menguruskannya.

Malaikat rahmat berkata, ” Di hatinya telah ada taubat kepada Allah.”

Malaikat azab pula berkata, “Dia belum berbuat kebaikan sama sekali.”

Kemudian, Allah mendatangkan malaikat lain dalam rupa manusia biasa untuk memutuskan perkara itu. Jarak di antara lelaki itu dengan kedua buah kampung pun diukur. Ternyata ia lebih dekat dengan kampung yang sedang ditujuinya dengan kadar satu jengkal. Akhirnya ia pun diuruskan oleh malaikat rahmat. Oleh itu, jelaslah bahawa tidak ada keselamatan kecuali dengan lebih beratnya timbangan kebaikan walaupun hanya seberat satu atom. Kerana itu wajib bagi orang yang bertaubat untuk memperbanyakkan kebaikan bagi menebus dosa-dosanya.

sumber : http://www.mukmin.com.my

 

Previous Post 04/06/2011

Filed under: Adab sehari-hari — akhrudi88 @ 10:13 +07:0006

Adab Makan Dan Minum

Seorang muslim ketika makan dan minum bertujuan untuk memelihara kesehatan badannya agar bisa melak-sanakan ibadah kepada Allah Ta’ala. Dengan ibadah tersebut dia akan mendapatkan kemuliaan dan kesenangan di akhirat. Karenanya seorang muslim tidak seharusnya makan dan minum semata karena hawa nafsu.

Orang muslim menghadapi hidangan dengan rasa syukur dan taqwa, lalu makan dan minum sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam , yaitu sebagai berikut:

A. Adab sebelum makan

* Makan dan minum dari yang halal dan baik, menghindarkan dari yang haram dan meragukan. Allah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah olehmu dari (sesuatu) yang baik yang Kami anugerahkan padamu.” (Al-Baqarah: 172).

* Makan dan minum dengan niat untuk menguatkan diri dalam beribadah kepada Allah, agar mendapatkan pahala atas apa yang dimakan dan diminumnya. Karena, sesuatu yang mubah apabila diniati baik maka akan menjadi sebuah ketaatan yang menghasilkan pahala bagi seorang muslim.

* Mencuci tangan sebelum makan apabila ada kotoran di tangannya atau masih belum yakin dengan kebesihan tangannya.

* Meletakkan makanan di atas sufrah (alas) tempat makanan dan ditelakkan di atas lantai atau tanah, tidak di atas meja makan. Ini lebih mendekatkan kepada sikap merendahkan hati (tawadhu’) di dalam menerima nikmat Allah, sebagaimana Anas radhiallahu anhu menjelaskan: “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam tidak makan di atas meja dan tidak pula di mangkok.” (HR. Al-Bukhari).

* Duduk dengan sopan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam yang artinya: “Aku tidak makan dengan bertelekan/bersandar, sesungguhnya aku seorang hamba, aku makan sebagaimana seorang hamba makan dan aku duduk sebagaimana seorang hamba duduk.” (HR. Al-Bukhari).

* Meridhai makanan yang ada, tidak mencaci dan mencela makanan. Apabila menyukainya dimakan, dan apabila tidak ditinggalkan. Abu Hurairah radhiallahu anhu menjelaskan: “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam tidak pernah mencela makanan, apabila beliau menyukainya ingin beliau memakannya, jika tidak suka , beliau meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

* Makan bersama-sama, dengan tamu atau dengan isteri dan anaknya, atau dengan pembantunya. Dalam sebuah riwayat: “Berkumpullah kamu sekalian dalam makananmu, niscaya diberkahi kamu sekalian di dalamnya.” (Abu Daud dan At-Tirmidzi, dengan sa-nad hasan karena banyak syahid-nya.)

B. Adab di saat bersantap

* Memulai makan atau minum dengan mengucapkan basmalah, sesuai sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam yang artinya : “Apabila salah satu di antara kamu akan makan, maka sebutlah nama Allah Ta’ala. Apabila ia lupa menyebut nama Allah Ta’ala (di permulaannya), maka sebutlah nama Allah dengan meng-ucapkan, ‘Bismillahi awwalahu wa akhirahu’.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia katakan hasan shahih).

* Mengakhiri makan dengan mengucapkan alhamdulillah, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasalam mengajarkannya: “Barangsiapa yang selesai makan mengucapkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ قُوَّةٍ

‘Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah memberi makan kepadaku, dan telah memberiku rizki dengan tanpa adanya kemampuan dan kekuatan dariku’, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. At-Tirmidzi, ia katakan hasan shahih).

Atau membaca doa-doa lain yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dalam sunnah-sunnahnya yang shahih.

* Makan dengan tiga jari tangan kanannya, mengecilkan suapan, dan memakan yang paling dekat dengannya, tidak dari tengah piring, sebagaimnana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam kepada Amr bin Salamah yang artinya :
“Hai bocah, sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang di dekatmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain Rasulllah shallallahu alaihi wasalam bersabda yang artinya : “Berkah itu turun di tengah makanan, maka makanlah kamu sekalian dari pinggirnya dan janganlah kalian makan dari tengahnya.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia katakan hasan shahih).

Termasuk sunnah Rasul shallallahu alaihi wasalam , yaitu makan dengan jari, bila memungkinkan makanan itu dimakan dengan tiga jari, apabila tidak mungkin karena termasuk makanan yang berair boleh dimakan dengan mamakai sendok.

* Apabila makanan yang ia makan terjatuh, sebaiknya diambil dan dibersihkan dari kotoran, lalu dimakan setelah bersih. Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda yang artinya : “Apabila sepotong makananmu jatuh, maka ambillah dan bersihkanlah apabila ada bagian yang kotor, kemudian makanlah (setelah bersih), jangan membiarkan makanan itu diambil oleh syaitan.” (HR. Muslim).

* Mengunyah dengan baik dan menjilat jari tangannya dari bekas makanan. Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam , dari Ka’ab radhiallahu anhu , ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam makan dengan menggunakan tiga jari dan tatkala selesai beliau menjilat ketiga jarinya itu.”(HR. Muslim).

* Menghindari makan terlalu kenyang, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam yang artinya : “Tidaklah anak Adam memenuhi suatu bejana yang lebih buruk daripada memenuhi perutnya. Cukuplah bagi anak Adam dengan beberapa suap untuk menopang punggungnya. Apabila tidak bisa, maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, hasan shahih).

* Tidak meniup/bernafas di dalam makanan yang panas, tidak memakannya kecuali makanan itu telah dingin, dan tidak bernafas di dalam tempat minum, namun bernafas di luarnya tiga kali. Anas menjelaskan, “bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bernafas tiga kali di saat beliau minum”. Dalam riwayat lain dijelaskan, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma , ia berkata: “Bahwasanya Rasulullah melarang bernafas di dalam tempat minum atau meniup di dalamnya.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Bukhari dengan lafazh lain).

* Tidak minum dengan sekaligus habis. Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma , Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda yang artinya : “Kalian jangan minum (segelas dihabiskan) sekaligus seperti unta, tetapi minumlah dua atau tiga kali, dan sebelumnya hendaklah membaca basmalah, kemudian sesudahnya membaca alhamdulillah.” (HR. At-Tirmidzi dan ia katakan, hasan shahih).

* Tidak minum langsung dari mulut teko/poci (makruh hukumnya). Dari Abu Hurairah radiallahuanhu, ia berkata: “Rasulullah melarang seseorang minum dari mulut tempat minuman atau teko.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Itulah di antara adab-adab makan dan minum yang bisa kita laksanakan sebagai wujud dari kecintaan kita kepada sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasalam .

 

semoga artikelnya dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian,,,

Sumber : buletin An-Nur 7 April 2004